Puan dan Perjuangan Identitas Perempuan: Reorientasi Perjuangan pada Politik Kelas

oleh: Khalifah Sauqii

Dilantiknya Puan Maharani sebagai Ketua DPR yang baru pada tanggal 01 Oktober 2019 kemarin merupakan satu hembusan napas yang melegakan bagi penggiat feminisme liberal. Feminis liberal yang dalam kemunculannya merupakan akritiknya terhadap politik liberal yang pada umumnya sangat menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu tetapi disaat yang bersamaan juga mendiskriminasi perempuan yang terlihat dari mayoritas pemegang kekuasaan di bangku-bangku pemerintahan atau hal terkait yang justru diisi oleh laki-laki yang dalam definisinya merupakan manusia dengan pemikiran paling logis. Feminis liberal hanya terpaku pada masalah kaum perempuan dalam mendefinisikan penindasan gender, dimana mereka mengesampingkan permasalahan system dan struktur sebagai suatu persoalan. Perjuangan kaum feminis liberal hanya membahas tentang keharusan situasi ideal dimana perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan hak yang sama sebagai seorang individu. Namun, apakah perjuangan perempuan hanya sebatas pada lingkup perjuangan identitas atau pengakuan-pengakuan “rekognisi” itu dapat menyelesaikan penindasan terhadap perempuan? apakah dengan terpilihnya Puan sebagai ketua DPR mengindikasikan bahwa semua perempuan juga memiliki kesempatan yang sama?

Berbeda dengan feminis liberal yang perjuangannya hanya sebatas pada keharusan adanya rekognisi bagi kaum perempuan di publik dan melihat permasalahan hanya sebatas pada permasalahan identitas, feminis marxis justru melihat bahwa penindasan perempuan juga merupakan bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Sejalan pula dengan sejumlah intelektual feminis seperti Nancy Fraser dan Marta A. Gimenez yang menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan berakar dari hubungan sosial produksi kapitalis. Dimana sistem hubangan sosial produksi kapitalisme menghendaki privatisasi terhadap faktor-faktor produksi yang secara langsung menciptakan kelas sosial tertentu, dimana pemilik sarana produksi adalah kelas borjuis dan kelas yang tidak memiliki sarana produksi (proletar) atau Gimenez biasanya menyebutnya sebagai the owners dan propertyless. Abstaksi ini-sebagai postulat-terlihat sederhana, tetapi didalamnya tersembunyi hubunganhubungan yang kompleks. Nancy Fraser, Cinzia Arruza dan Tithi Bhattacharya juga menuliskan sebuah pernyataan politik untuk melawan pandangan feminisme liberal. Pernyataan-pernyataan tersebut kemudian mereka tuangkan kedalam buku yang berjudul Feminism for the 99: A Manifesto. Istilah 99% dalam buku ini digunakan untuk menggambarkan mayoritas penduduk di muka bumi ini merupakan kelas pekerja. Tesis dalam buku ini didasarkan pada permasalah struktural yang diakibatkan sistem ekonomi politik yang didominasi oleh kapitalisme neoliberal. Di dalam sistem ini, privatisasi yang terjadi di semua sektor termaksuk pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik yang notabenenya adalah ranah reporduksi telah mengakibatkan kesengsaraan terhadap kaum 99%, terlebih para perempuan. Di berbagai negara dunia selatan yang salah satunya adalah Indonesia, privatisasi di sektor-sektor publik muncul sebagai bagian dari Structural Adjusment Programs/SAPs dari lembaga pembangunan internasional seperti International Monetary Fund (IMF) atau World Bank. SAPs sendiri merupakan paket kebijakan yang harus dijalankan setiap negara yang mendapatkan bantuan dana dari lembaga-lembaga pembangunan internasional tersebut—salah satunya adalah pemotongan subsidi (Davis,2004). Dalam masyarakat kapitalis, pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh eksploitasi langsung dari labour, tapi juga juga dari hubungan hubungan yang membetuk serta merawat hal tersebut. Reproduksi sosial merupakan sejumlah aktivitas atau kerja-kerja yang dibutuhkan untuk menciptakan, memelihara, dan merestorasi komoditas tenaga kerja. Kerja-kerja reproduksi sosial ini terbagi menjadi dua. Pertama, kerja-kerja yang ada di dalam rumah tangga yang tidak dibayarkan karena tidak dianggap sebagai pekerjaan. Kedua kerjavreproduktif yang terbayarkan karena di dianggap sebagai kerja seperti pekerjaan di bidangvkesehatan dan pendidikan. Posisi kerja reproduksi sosial ini sangatlah penting.

Menurut Fraser, reproduksi sosial merupakan bagian yang juga penting posisinya bagivkemungkinan produksi ekonomi dalamvsistem produksi kapitalis. Meski demikian, tanggungvjawab dari kerja-kerja reproduksi sosial selalu dieksternalkan kepada keluarga, dalam hal inivterutama kepada perempuan. Secara struktural aspek reproduksi sosiak berhubungan erat dengan problem ketimpangan pembagian peran gender di dalam masyarakat. Mereka berargumen bahwa reproduksi sosial ini merupakan isu feminis kerena kapitalisme menciptakan struktur subordinasi terhadap perempuan melalui kerja reproduksi sosial yangtanggung jawabnya diserahkan kepada perempuan begitupun menurut Gimenez, melihat penindasan perempuan dalam kapitalisme pada momen ketika faktor produksi mensubordinasi faktor reproduksi. Kategori produksi dan reproduksi sejatinya memiliki kedudukan yang setara, tetapi dalam kapitalisme kategori produksi menjadi universal, sementara kategori reproduksi tetap parsial menurut Gimenez. Hal ini tidak terlepas dari logika kapitalisme yang menempatkan (profit) sebagai fokus. Logika inilah yang menyebabkan pemisahaan yang ketat antara kerja produktif dan reproduktif di dalam masyarakat kapitalis dan menyebabkan tersingkirnya reproduksi sosial sebagai center dari akumulasi kapital subordinasi produksi terhadap reproduksi. Tak heran jika kemudian persoalan reproduksi sosial-lah yang paling banyak menjadi tuntutan dari feminist strike yang militan. Hal ini membuktikan adanya hubungan erat antar kekerasan berbasis gender dengan hubungan-hubungan sosial yang ada di dalam kapitalisme. Berbagai persoalan yang di hadapi oleh kaum 99% -termasuk perempuan dan kelompok marjinal lain- ini hanya dapat diatasi oleh feminisme yang bersatu dengan gerakan anti-kapitalis. Berbeda dengan feminis liberal yang mereduksi pejuangan perempuan hanya terbatas pada pengakuan-pengakuan/ rekognisi dimana hal ini tidak lah menjawab atau tidak menyelesaikan penidindasan terhadap perempuan maupun kaum yang termajinalkan. Kembali ke pertanyaan di awal yang mempertanyakan apakah perjuangan perempuan yang hanya terbatas pada pengakuanpengakuan semata dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh perempuan?. Dengan penjabaran yang ada di atas mungkin telah menjawab pertanyaan tersebut, bahwa penindasanterhadap perempuan terjadi diakibatkan oleh sistem kapitalisme yang meyebabkan pengsubordinasian terhadap kerja-kerja reproduksi. Artinya penindasan yang dihadapi perempuan tidak terbatas hanya pada persoalan pengakuan atau kesempataan yang sama saja, hal ini tidak melihat penindasan yang terjadi secara struktural. Perjuangan perempuan yang membahas persoalan politik identitas (rekognisi) atau pengakuan-pengakuan dan hanya memfokuskan pada persoalan pada kesempatan dan hak yang sama sangat mereduksi perjuangan perempuan sebab hal itu tidak menyelesaikan penindasan terhadap perempuan. Hal juga dapat diartikan bahwa perempuan pun berhak atas penindasan itu sendiri (menjadi pelaku), ini dapat dilihat dari logika feminis liberal yang selaras dengan kepentinganakumulasi kapital mengajak para perempuan ber privilege untuk menjadi pimpinan perusahaan dan menduduki jabatan-jabatan penting. Penindasan bukanlah persoalanpersoalan gender lagi, namun seperti yang di terangkan oleh Gimenez dalam sistem kapitalisme dimana hal ini menghasilkan adanya kelas sosial yang terbagi menjadi owners dan propertyless dimana perempuan pun bisa menjadi owners yang menindas propertyless dalam hal ini bisa saja perempuan maupun laki-laki yang menjadi korban, ini mengindikasikan penindasan terjadi akibat pembagian kelas sosial yang tidak setara dan bukan lagi terletak pada gender, Ini juga menjawab pertanyaan kedua bahwa kesempatan Puan Maharani tidak terlepas dari kelas sosial apa yang ia bawa, kesempatan-kesempatan itu hadir bukan lah karena persoalan gender karena tidak semua perempaun memiliki kesempataan yang sama dengan Puan karena hal utama yang menjadi sebab Puan dapat menjadi apa yang sekarang dijabatnya tentu saja tak terlepas dari kelas sosial apa yang dipunyanya. Tujuan perjuangan dalam penghapusan penindasan perempuan bukan lagi dilihat sebagai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan “rekognisi” atau politik identitas melainkan lebih dari itu, yakni politik perjuangan kelas.

Daftar Pustaka
Mudzakkir, A. dkk. 2019. Tuhan, Perempuan dan Pasar. IndoProgress
Gimenez, M. 2016. Kapitalisme dan Penindasan Terhadap Perempuan: Kembali ke Marx. ndoProgress
Izzati, F. F. 2020. Feminisme Liberal Tak Cukup Demokratis dan Membebaskan bagi Kita
Kaum 99%. (Online, https://indoprogress.com/2020/08/feminisme-liberal-takcukup-demokratis-dan-membebaskan-bagi-kita-kaum99/ , Diakses pada tanggal 10 Mei 2022)
Natasya, C. 2019. Menantang Puan: Membunuh Representasi, Memberanikan Diri. (Online, https://indoprogress.com/2019/10/menantang-puan-membunuh-representasimemberanikan-diri/ , Diakses pada tanggal 10 Mei 2022)

Add a Comment

Your email address will not be published.