Demokrasi Indonesia: Evaluasi Kritis atas Kontestasi Pemilu dan Urgensi Islam Tranformatif sebagai Alternatif Perubahan Sosial
Demokrasi Indonesia: Evaluasi Kritis atas Kontestasi Pemilu dan Urgensi Islam Tranformatif sebagai Alternatif Perubahan Sosial
oleh Putri Kartika Ayu
Abstrak
Kesejahteraan menjadi hal yang seharusnya didapatkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Kesejahteraan dilihat pada aspek kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berorganisasi, hingga yang paling sentral adalah kebebasan dalam akses untuk memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidup serta memperoleh penghidupan yang layak. Kesejahteraan saat ini seharusnya menjadi hal yang dicita-citakan bangsa. Pemilihan umum sebagai salah satu bentuk demokrasi Indonesia ternyata tidak mengindahkan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bangsa tersebut. Demokrasi saat ini di Indonesia ternyata hanya menjadi tempat startegis bagi para kaum kapitalis, dalam hal ini para oligark untuk mengambil posisi ekslusif dengan menggunakan kekayaan yang ia punya untuk mengontrol pemerintahan, dengan tujuan untuk menambah kekayaan yang dia miliki. Jika kesejahteraan sebagai cita-cita bangsa, maka yang seharusnya memiliki posisi atau yang menduduki pemerintahan adalah mereka para masyarakat mayoritas. Namun, masyarakat mayoritas, dalam hal ini masyarakat miskin, ternyata tidak mendapatkan ruang sebagai pemilik kedaulatan penuh dalam demokrasi. Masyarakat miskin kemudian hanya diberi ruang pada pemilu yang tidak demokratis, sebab yang masyarakat pilih pada pemilihan umum tidak mewakili kepentingan dari masyarakat miskin tersebut, bahkan yang dipilih tidak merepresentasikan masyarakat mayoritas itu sendiri. Hal ini tidak memungkinkan terwujudnya kesejahteraan yang menjadi cita-cita bangsa dan menuntut untuk memungkinkan adanya perubahan sosial secara struktural. Islam melihat ini sebagai suatu masalah dan islam juga menawarkan alternatif untuk menghadapi masalah tersebut, yaitu islam transformatif. Islam transformatif menawarkan pembacaan akan kondisi struktural masyarakat yang timpang dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik dimana selalu mengedepankan pencarian teologi, metedologi dan aksi yang dengannya, dapat diciptakan suatu kesejahteraan yang menjadi evaluasi dalam demokrasi pada paktik pemilihan umum.
Kata Kunci: Demokrasi, Pemilihan Umum, Kesejahteraan, Perubahan Sosial, Islam Transformatif
PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, manusia lahir berkenaan dengan seperangkat hak yang menjamin kesejahteraan hidup manusia itu sendiri. Kesejahteraan menjadi impian dan harapan manusia yang hidup di muka bumi ini, dan kesejahteraan tersebut dapat diukur, paling sentral, dengan keadaan dimana manusia itu mampu memenuhi atau mencukupi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks bermasyarakat, kesejahteraan diukur dimana masyarakat mendapatkan haknya dalam kebebasan pers, kebebasan berpendapat, hak berkumpul dan berorganisasi, dan lain sebagainya, dimana kebebasan tersebut dapat terwujud melalui adanya akses dalam memenuhi atau mencukupi kebutuhan hidup. Dalam artian pemenuhan atau pencukupan kebutuhan hidup menjadi hal yang paling mendasar dalam kesejahteraan masyarakat. Dan kesejahteraan bukan hanya menjadi impuan dan harapan manusia itu sendiri, melainkan sebagai cita-cita bangsa.
Perwujudan cita-cita bangsa tidak lepas dari kondisi struktural masyarakat yang hadir saat ini, dan kondisi struktural masyarakat terkondisikan pada sistem kekuasaan. Kekuasaan memungkinkan terwujudnya kesejahteraan manusia dan kekuasaan tesebut tertuang dalam sebuah konsepsi sistem yang di anut sebuah negara. Konsepsi demokratis terinterpretasi untuk memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajaran manusia. Maka dari itu, demokrasi adalah jalan menuju kesejahteraan dengan menggunakan kekuasaan sebagaimana mestinya.
Dalam perwujudan demokrasi secara prosedural saat in, demokrasi hanya dapat diidentifikasi pada salah satu aspek, yaitu pelaksanakan kontestasi elektoral atau pemilu. Pemilu memungkinkan negara-negara yang melabeli dirinya sebagai negara demokratis menjadikan pemilu untuk memilih pejabat-pejabat publik di bidang legislatif dan eksekutif baik pusat maupun daerah, begitupun di Indonesia. Pemilu menjadi sarana dimana masyarakat ikut aktif dalam memberikan partisipasi untuk membentuk suatu pemerintahan.
Namun, nyata nya pemilu di Indonesia saat ini tidak benar-benar demokratis. Pemilu seharusnya memiliki fungsi utama guna menghadirkan pemimpin yang memiliki orientasi pada kehendak rakyat dalam mencapai cita-cita bangsa tadi dan pemimpin tersebut seharusnya didapatkan melalui usungan rakyat sesuai dengan konsep demokrasi pada umunya. Penyelenggaraan pemilu mensyaratkan terbentuknya partai politik. Saat reformasi, masyarakat memiliki kebebasan lebih jauh untuk membentuk suatu partai politik guna mengusung perwakilannya di pemerintahan, dan kebebasan ini dianggap sebagai konsep demokrasi. Namun nyata, melalui UU Partai Politik tahun 2011, pembentukan partai politik hanya bisa di bentuk oleh masyarakat yang memiliki kekuasaan material atau kekayaan. Dalam artian hanya mereka yang memiliki kekayaan berlebih atau memiliki pengaruh kapital yang dapat memenuhi prasyarat terbentuknya partai politik dan mengusung perwakilannya di pemerintahan, dalam hal ini elite kelas atas.
Pemilu yang dianggap sebagai interpretasi dari demokrasi ternyata tidak cukup bahkan tidak menggambarkan demokrasi sebagaimana mestinya, dan jelas bahwa sangat sempit jika demokrasi hanya dilihat pada konteks pemilu saja. Maka, jelas bahwa pencapaian kesejahteraan dalam politik demokrasi bukanlah kondisi alamiah dari demokrasi itu sendiri, dimana evaluasinya demokrasi seharusnya menciptakan kesejahteraan. Dan masalah yang terjadi saat ini adalah, bahwa demokrasi hadir hanya untuk melindungi kepentingan elit yang memiliki kekuasaan materil atau kekayaan yang melimpah. Dan hal ini menjadi penting untuk kemudian diamati lebih jauh sebab implikasinya adalah masyarakat miskin yang sulit mengakses pemenuhan kebutuhan hidupnya hingga tidak tercapainya kesejahteraan.
Dengan melihat masalah tersebut, suatu konsekuensi logis untuk mensyaratkan adanya sebuah perubahan sosial. Dalam mengusung perubahan sosial, para ahli melihat masalah melalui dua sudut pandang. Pertama, masalah dari sudut pandang kultural masyarakat, bahwa masalah yang hadir disebabkan oleh kultur atau kebudayaan dari lingkup masyarakat tertentu, maka perubahan yang diusung adalah perubahan yang sifatnya kultural, semisal modernisasi. Kedua, masalah dari sudut pandang struktural masyarakat, bahwa masalah sosial hadir karena adanya sistem struktur yang eksternal dari masyarakat sekaligus mengkindisikan masyarakat, maka perubahan yang diusung harus mengubah sistem struktural tersebut. Seperti yang ditafsirkan oleh Soemardjan, mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat (Soekanto, 1990).
Perubahan sosial yang di harapkan kemudian adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik, mencakup didalam nya pendampingan bukan pengarahan apalagi sebuah paksanaan, juga menuntut adanya pembaruan pemikiran yang membuat masyarakat yang menjadi fokus dalam tujuan kesejahteraan yang dimaksud, mayoritas masyarakat yaitu masyarakat miskis atau tertindas, untuk menjadi pionir atas perubahan sosial yang diinginkan. Perubahan tersebut adalah perubahan transformatif yang ditawarkan oleh islam sebagai agama yang transformatif.
PEMBAHASAN
Demokrasi dan Pemilihan Umum
Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Latin, demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Abraham Lincoln menafsirkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan penafsiran tersebut, pemilik kedaulatan sudah seharusnya menjadi hak rakyat seutuhnya. Pemerintah dalam hal ini sebagai bentuk representasi dari rakyat yang memungkinkan rakyat berkembang dan ikut serta sebagai aktor utama dalam proses politik demi mencapai cita-cita bangsa yaitu kesejahteraan.
Pendefinisian demokrasi juga dapat dilihat dari apa yang ditafsirkan oleh Aristoteles dengan melihat bagaimana demokrasi yang pertama kali dilakukan dizaman Yunani Kuno, lebih tepatnya di Athena. Athena menggunakan demokrasi untuk mengisi dan membentuk pemerintahan dengan rakyat yang mengontrol langsung dengan hak politik yang dimiliki oleh rakyat. Demos yang di maksud oleh Aristoteles mengacu pada satu kaum, yaitu kaum masyoritas miskin, maka demokrasi disini berarti kekuasaan ditangan masyarakat mayoritas kaum miskin. Hal ini karena melihat kaum mayoritas pada saat itu melakukan suatu perjuangan demi membatasi kekuatan kelas kapitalis, hingga keikutsertaan dalam proses pembuatan aturan hukum. Sebab kadang rakyat menganggap kebijakan bisa menjadi ancaman yang membuat negara tidak lagi menuju pada kesejahteraan. Dan inilah yang menurut Aristoteles sebagai demokrasi yang sebenarnya. Bahkan, pemikiran demokratis pada dasarnya menganggap pemerintahan yang baik adalah ketika masyarakat memiliki keikutsertaan aktif didalam demokrasi itu sendiri.
Di Indonesia, demokrasi hanya di sempitkan pada ranah pemilihan umum karena konsep mengenai demokrasi saat ini selalu disandingkan dengan keindentikan pemilihan umum. Samuel P. Huntington mengartikan demokrasi sebagai keputusan-keputusan kolektif yang kuat, yang dibuat oleh orang-orang yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala, dan didalam sistem itu para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh suara dimana hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara. Maka, dalam pemilihan umum harus dilakukan secara berkala, merupakan keharusan pemerintah dalam menjamin terlaksananya penyelenggaraan yang berkala seusai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah ditentukan agar hak politik rakyat dapat tersampaikan.
Pergeseran Makna Demokrasi menjadi Oligarki pada Pemilihan Umum
Dalam pelaksanaan pemilu, konsekuensi logis yang hadir adalah terbentuknya kekuasaan, dimana kekuasaan yang diharapkan adalah kekuasaan yang mampu melegitimasi kesejahteraan. Satu hal yang tidak dapat di pungkiri dari pemilihan umum adalah adanya sekelompok elit yang menggunakan kekayaannya untuk mengontrol kekuasaan melalui posisi sosial yang eksklusif guna mendapatkan lebih banyak kekayaan untuk dirinya. Sekelompok elit ini bersifat individual, oleh aktor, tidak dalam bentuk perusahaan atau bentuk kolektivitas lainnya. Menurut Winters, ketimpangan material atau kekayaan di era demokrasi adalah problem teoritis utama, yang meligitimasi aktor (oligarki) untuk terlibat dalam politik dengan menggunakan kekayaan material dan mengontrol kekuasaan demi posisi struktural demi mendapatkan kekayaan yang lebih banyak.
Demokrasi sudah selayaknya sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dimana semakin tinggi tingkat kompleksitas maka semakin rumit dan tidak sederhana pula pendefinisian terhadap demokrasi tersebut. Hal tersebut mengkondisikan adanya pegeseran makna dari demokrasi itu sendiri. Contohnya di indonesia, secara tidak dasar bahwa demokrasi telah mengalami pergeseran.
Pergeseran makna pada demokrasi di Indonesia saat ini dapat dilihat pada praktik pemilu, dimana dalam praktiknya demokrasi mulai tidak serta merta menghasilkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti bagaimana pelayanan publik, kebebasan pers dan berpendapat, hingga citacita bangsa yang dijelaskan dari awal, yaitu kesejahteraan. Di Indonesia sendiri, sejak pilpres tahun 2014 silam, demokrasi hanya dimaknai sebagai pesta pemungutan suara dibilik pemilihan, yang membuat partai politik serta mesin politiknya bertarung hanya mencari suara rakyat sebanyak-banyaknya.
Coen Husein Pontoh berpandangan bahwa pergeseran makna demokrasi tersandera oleh kepentingan elit karena demokrasi pada pemilu pun di lakukan atas kehendak para elit-elit. Prosedural demokrasi berubah makna dari pemerintahan rakyat menjadi pemerintahan para politisi dimana dalam melakukan pemilihan bukan karena sebagaimana mestinya pemilihan namun ada aspek figur popularitas elit didalamnya yang mengandung pertarungan elit itu sendiri. Pertarungan elit hanya untuk merebut kekuasaan semata, bukan dalam rangka untuk dapat memberdayakan masyarakat kecil. Hal tersebut dilihat pula dengan bagaimana sebuah partai dibentuk untuk kemudian mengusung perwakilan partainya.
Dalam UU Partai Politik, untuk mengusung sebuah partai politik ada dua prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, syarat berat pembentukan dimulai dari harus dengan akta notaris dan harus berbadan hukum. Selanjutnya, terkait batas maksimal sumbangan perusahaan atau badan usaha yang mempengaruhi pengaruh kemenangan kapital dalam partai. Jadi apa sebenarnya alasan mempersulit pembentukan partai? Jelas bahwa itu adalah kepentingan mereka dalam membatasi pesaing, karena para partai oligarki yang memenangkan pemilihan yang ikut seta membentuk aturan tersebut. Semakin sedikit pesaing yang dimiliki, semakin mudah bagi oligarki ini untuk mendominasi atau memonopoli proses politik Indonesia. Demokrasi bagi mereka bukan lagi berarti kekuasaan, kehendak rakyat, tetapi kekuasaan elit—para oligarkis itu sendiri.
Melihat praktiknya, masyarakat tidak benar-benar mengusungkan sosok untuk memiliki kedudukan dipemerintahan, melainkan telah adanya sosok yang diusung oleh partai oligark untuk kemudian dipilih oleh masyarakat. Dan lagi-lagi, sosok yang diusung oleh partai oligark selalu memiliki tujuan untuk mewujudkan kepentingan dari partai oligark untuk mendapatkan kekayaan lebih dari yang dia keluarkan untuk mengontrol kekuasaan nya melalui kekayaannya. Seperti yang dikatakan haryanto pada tulisannya bahwa proses demokratisasi saat ini menjamin berlangsungnya sirkulasi elit, dan jika kaum elit terus menerus diberikan ruang dengan kekuasaan tersebut, maka memungkinkan untuk terjadi ketidakadilan pada segelintir masyarakat lain diluar kapitalis, yaitu buruh, kelas pekerja, masyarakat tertindas. Maka seharusnya, mayoritas masyarakat tertindas atau masyarakat miskin yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan hingga kekuasaan yang dimiliki masyarakat miskin mampu sampai pada pengaruh mengontrol sesuai dengan kepentingan di awal dalam perwujudan cita-cita bangsa, yaitu kesejahteraan.
Jika dilihat kembali, memiliki kekuasaan berarti memiliki kemampuan untuk mengubah perilaku atau sikap orang lain sesuai dengan apa yang diinginkan, menumbukan pengaruh kuat bahkan untuk mengontrol secara penuh. Dalam hal ini, kaum elit atau para oligark senantiasa menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Kaum elit atau oligark disni adalah masyarakat kapitalis atau segelitir orang yang memiliki kekayaan yang melimpah dimana melalui kekuasannya, mereka secara universal memiliki kemauan yang subjektif untuk terus menumpuk kekayaan nya. Kekuasaan yang dimiliki oleh elit oligark ini juga menyebabkan dominasi dimana masyarakat tidak memiliki akses yang cukup untuk menggunakan haknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sedang berlangsung hingga tidak adanya akses dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
Lebih jauh terkait Oligarki, sederhananya merupakan kekuasaan oleh sekelompok kecil yang berorientasi hanya pada kepentingan pribadi. Winters dalam bukunya yang berjudul Oligarki, menyebutkan ada 4 bentuk oligarki, yaitu oligarki perang, oligarki berkuasa, oligarki sultanistik dan oligarki sipil. Bentuk oligarki pada suatu negara ditentukan oleh keberadaan rezim pertahanan negara tersebut. Indonesia sendiri berapa pada bentuk oligarki sultanistik, karena rezim pertahanannya dengan strategi mengontrol seluruh hal dalam ekonomi dan politik, atas akses terhadap kekayaan, tidak lansung melucuti senjata dimana penguasa oligark mampu mengintimidasi masyarakat melalui kekayaannya dengan bentuk rezim pertahanannya, dan oligarki sultanistik inilah yang berlaku pada pemilihan umum. Dimana penguasa tidak melucuti senjata, namun menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol masyarakat demi tugasnya yang juga harus menjaga kepemilikan dan pendapatan dari para oligark lainnya.
Hal ini lah yang seharusnya diproblematisir akan demokrasi di Indonesia saat ini bahwa demokrasi saat ini bersifat liberal atau demokrasi kapitalis, dimana ketika hanya para oligark kapitalis yang menduduki pemerintahan maka cita-cita bangsa akan sulit terwujud. Dan perlu ditekankan bahwa hal ini yang memungkin adanya suatu perubahasan dalan kondisi strukural masyarakat, atau mengharuskan adanya suatu perubahaan sosial.
Namun, untuk menjelaskan para oligarkis dalam demokrasi liberal saat ini dan mengusung alternatif perubahaan sosial untuk memperbaiki kondisi struktural masyarakat harus dilihat dari kacamata ekonomi politik. Kesejahteraan dan layanan publik lebih baik merupakan pembacaan ekonomi politik yang sangat mendasar, mengikut terbentuknya kerangka kelembagaan baru terkait demokrasi serta melihat struktur relasi kekuasaan yang timpang yang masih didominasi oleh segelintir elit oligarki.
Kacamata Ekonomi Politik Islam dalam Mengusung Alternatif Perubahan Sosial: Islam Transformatif
Kacamata ekonomi politik menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dari kosakata demokrasi pada umumnya tapi pada demokrasi liberal atau demokrasi kapitalis yang terjadi di Indonesia saat ini. Demokrasi liberal yang diproblematisir inilah yang menjadi prakondisi materil akan adanya elit oligark dan segala bentuk pertarungannya kekuasaan demi penumpukan kekayaan dikalangannya. Dalam mengusung sebuah alternatif perubahaan sosial, ekonomi politik disini dilihat dari perspektif islam. Ekonomi politik mengkonsepkan keberislaman yang materialis, dimana keberislaman yang mengacu pada kondisi sosial yang konkret dan objektif. Islam adalah agama yang mengajarkan pada umatnya untuk melakukan perubahan sosial kearah yang lebih baik dan menjadi pionir untuk melakukan perubahan itu. Islam pada ekonomi politik sendiri pun memiliki konsep terkait kesejahteraan sebagai sesuatu yang paling mnedasar. Namun sebelum itu, kita harus melihat klasifikasi paradigma menurut Mansour Fakih untuk melihat paradigma mana yang memungkinkan kesejahteraan masyarakat.
Pertama, paradigma tradisional yang berakar pada teologi Sunni, terutama Asy’ariyah. Paradigma ini mempercaya bahwa pada hakekatnya Ketentuan dan Rencana Tuhan adalah yang utama. Dalam artian, yakni takdir tuhanlah yang menentukan kondisi masyarakat, bahwa Tuhan Yang Maha Esa yang memungkinkan bagaimana kesejahteraan masyarakat terjadi. Kedua, paradigma liberal yang mengatakan bahwa keterbelakangan disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ketiga, paradigma revitalis, melihat faktor eksternal, dimana keterbelakangan umat Islam lebih disebabkan karena terlalu terpesona dengan konsep-konsep ideologi Barat, seperti kapitalisme, marxisme, dsb.
Terakhir, Islam menawarkan satu alternatif yang dianggap paling manusiawi yang memberlakukan pendampingan dan bukan pengarahan apalagi sebuah pemaksaan, suatu gerakan kultural sebagai bentuk pengubahan sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat ke arah yang lebih partisipatif, terbuka dan emansipatoris. Dan alternatif tersebut adalah paradigma transformatif.
Paradigma transformatif menganggap bahwa tidak tercapainya kesejahteraan itu disebabkan oleh adanya sistem dan struktur ekonomi politik yang timpang. Seperti yang dikatakan oleh In’amul Mushoffa bahwa dalam paradigma transformatif ini akan dilakukan transformasi pada struktur dengan penciptaan relasi yang lebih baru dan adil, dengan menjadikan kesejahteraan sekaligus keadilan menjadi prinsip fundalmentalnya. Pada islam transformatif, dimungkinkan adanya perubahan sosial sebab praksis nya di implementasikan pada gerakan pengembangan masyarakat dengan pendekatan yang praksis juga yaitu kesatuan dialektika antara refleksi dan aksi teori dan prakter serta iman dan amal. Artinya, islam transformatif sebagai alternatif membangun kesadaran akan kondisi struktural masyarakat yang juga berangkat pada masyarakat itu sendiri, masyarakat tertindas, masyarakat miskin.
KESIMPUULAN
Demokrasi yang hanya disempitkan pada ranah pemilihan umum benar-benar membatasi keikutsertaan rakyat pada pembentukan sistem pemerintahan di Indonesia. Impilikasinya, pencapaian citacita bangsa dalam hal ini kesejahteraan, benar-benar akan sulit untuk dicapai. Sebab, hanya mereka para kaum kapitalis, dalam hal ini oligark, yang dapat mengisi pemerintahan, tidak ada celah bagi kaum miskin sebagai mayoritas masyarakat yang seharusnya mendapat kesejahteraan itu. Konsekuensi logis dengan melihat adanya masalah pada demokrasi saat ini, kita harus mengusungkan alternatif yang dapat menjawab masalah tersebut. Islam sebagai agama pembebasan bagi yang tertindas dalam kacamata ekonomi politik menawarkan satu alternatif yang menjadikan keadilan sebagai prinsip fundamentalnya, yaitu islam transformatif yang di anggap mampu mentransformasikan sistem eksploitasi menjadi sistem yang menyejahterakan masyarakat yang tertindas, masyarakat miskin.
Islam transformatif sebagai alternatif, mengusung startegi dengan mengcounter hegemoni sistem yang saat ini sangat mengakar. Islam transformatis menawarkan gerakan yang didalamnya selalu mengedepankan pencarian teologi, metedologi dan aksi yang dengannya, dapat diciptakan atau memungkinnya adanya.
–
Daftar Pustaka
Setyo Nugroho, “Demokrasi dan Tata Pemerintahan dalam konsep Desa dan kelurahan.” Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2, Desember 2013, hlm. 2.
Media Publikasi Kemenkumham, Artikel Hukum dan Tata Negara dan Peraturan Perundang undangan,https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=507:peran-partai-politik-dalam-penyelenggaraan-pemilu-yang-aspiratif-dan demokratis&catid=100&Itemid=180 diakses pada tanggal 06 Juli 2022
Muhammad Ali dan Ma’arif Jamuin, “Gagasan Moeslim Abdurrahman Tentang Pendidikan Islam Transformatis” Jurnal SMART, Vol. 03 No.02, Desember 2017, hlm. 172 Ni’matul Huda. Ilmu Negara, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hlm.169.
Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh, ed., Oligarki : Teori dan Kritik, Serpong, CV. Marjin Kiri, 2020, hlm. 65
Hendri Teja, dkk, Suara Rakyat Suara Tuhan, Jakarta Selatan, PT. Serambi Ilmu Semesta, 2020, hlm. 52.
Ali Syariati, Sosiologi Islam: Pandangan Dunia Islam dalam Kajian Sosiologi untuk Gerasakn Sosial Baru, Yogyakarta, RausyaFikr Institute, 2014, hlm. 62.